Kamis, 26 Februari 2009

Menggali Seni Di Warung Kopi

Alternatif Kaki

Menggali Seni Di Warung Kopi

Seni pertunjukan biasanya identik dengan panggung yang megah, dekorasi yang terdesain rapi dan jadwal penampilan yang runtut. Namun, semua itu tak akan anda temukan dalam pertunjukan “Antara Puisi dan Lagu” yang digelar di Warung Kopi Jak, Kamis (26/2) kemarin.

WARUNG Kopi Jak sebenarnya hanya warung biasa. Sebuah bangunan tanpa dinding, beratap asbes dengan tonggak bambu dan sebuah gerobak kaki lima di depannya. Terletak di sudut Taman Budaya, Jl. Majapahit, Mataram, bangunan itu benar-benar hanya sebuah warung kaki lima biasa.

Yang membuatnya menarik adalah pertunjukan di dalamnya. Ada artis yang tampil menyanyikan lagu atau membacakan puisi. Penontonnya hanya sekitar 16 orang yang duduk santai sembari bergoyang, menyanyi, berteriak, bertepuk saat lagu dan puisi ditampilkan ala kadarnya.

Pertunjukan yang ditampilkan di Warung Kopi Jak ingin membawa sejumlah pesan sederhana. Ary Juliant, salah seorang musisi penggagasnya mengatakan pertunjukan ini digelar untuk menyampaikan bahwa lagu dan puisi tidak melulu harus ditampilkan di sebuah panggung besar yang dibangun secara khusus.

“(Warung) ini juga adalah sebuah panggung,” ujarnya.

Warung ini seperti pintu yang mengijinkan siapapun masuk dan berkreasi seni. Rundown pertunjukan pun tidak seperti biasanya. Kadang-kadang, artis yang tampil bahkan dipilih berdasarkan suara terbanyak dari belasan penonton yang hadir. Dana untuk menggelar pertunjukan berikutnya dikumpulkan langsung dari penonton.

Pertunjukan yang disajikan di Warung Kopi Jak mengusung semangat inovatif. Jangan berharap ada sebuah lagu, puisi atau karya seni lainnya yang disajikan secara baku di sini. Di warung kopi ini, semua karya seni diperlakukan sebagai sesuatu yang telanjang.

Ary Juliant, Zaini Muhammad, Winsa Prayitno, M. S. Irawan yang menggagas pertunjukan ini tampaknya ingin mengembalikan sebuah karya seni sebagai sesuatu yang bebas untuk dinikmati, diinterpretasi, dikritisi, atau bahkan dibongkar dan disajikan ulang.

Lihatlah bagaimana Warung Kopi Jak menampilkan lagu Aku Tidak Tidur Manis, milik Ary Juliant. Biasanya lagu tersebut dibawakan secara harmonis, ritmis dan kompak. Namun kali kemarin, lagu melankolis itu dibawakan secara liar, menghentak dengan diiringi gitar dan ketukan sepatu Ary yang terkadang terdengar ganjil. Di tengah lagu, masuk pula tiupan clarinet milik Pak Made. Di lagu lain, Ary bahkan tampil sembari berlari-lari dan berteriak sepanjang trotoar di depan warung.

Ary menegaskan ia tak khawatir, lagunya akan terkontaminasi dengan berbagai masukan baru yang tampil dalam pertunjukan tersebut. Ia juga membantah dirinya sengaja mendesain penampilannya yang ganjil. Spontanitaslah yang membuat apapun yang tersajikan menjadi unik, tanpa batas.

Warung di sudut Mataram itu benar-benar menampilkan seni secara apa adanya. Jauh dari unsur komersil. Zaini menegaskan, mereka tidak ingin memaksa publik atau penonton untuk menyenangi pertunjukan mereka. Namun, Zaini yakin, pertunjukan ini sebenarnya juga menyimpan kemampuan membuai.

Zaini memperhatikan, ada penonton yang awalnya mengerutkan dahi di awal pertunjukan. “Tapi mulai lagu keempat, kakinya mulai goyang-goyang, itu saya perhatikan,” ujarnya bersemangat.

Ary dan kawan-kawan rupanya sedang jengah dengan kebakuan dalam dunia seni. Karenanya, mereka menggagas Warung Kopi Jak yang bisa menjadi tempat menggali kembali keberadaan seni secara inovatif.

Keluhan mengenai kebakuan dalam dunia seni juga disampaikan Zaini Muhammad. Dalam salah satu puisi yang dibawakannya, ia meneriakan ; “Bagaimana merumuskan gerak kesenian yang selaras dengan gagasan! Teori kesenian berseliweran, bahkan sering mencengkram gagasan.” (aan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar